Setelah
penggunaan masjid sudah cukup optimal, maka kemudian dirasa perlu untuk
memiliki sebuah tempat yang benar-benar menjadi pusat pendidikan dan
pembelajaran Islam. Untuk itu, muncullah lembaga pendidikan lainnya seperti
pesantren, dayah ataupun surau. Nama–nama tersebut walaupun berbeda, tetapi
hakikatnya sama yakni sebagai tempat menuntut ilmu pengetahuan keagamaan.
Pesantren
sebagai akar pendidikan Islam, yang menjadi pusat pembelajaran Islam setelah
keberadaan masjid, senyatanya memiliki dinamika yang terus berkembang hingga
sekarang. Menurut Prof. Mastuhu, pesantren adalah lembaga pendidikan
tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati dan
mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai
pedoman perilaku sehari-hari.
Pesantren
sejatinya telah berkiprah di Indonesia sebagai pranata kependidikan Islam di
tengah-tengah masyarakat sejak abad ke-13 M, kemudian berlanjut dengan pasang
surutnya hingga sekarang. Untuk itulah, tidak aneh jika pesantren telah menjadi
akar pendidikan Islam di negeri ini. Karena senyatanya, dalam pesantren telah
terjadi proses pembelajaran sekaligus proses pendidikan; yang tidak hanya
memberikan seperangkat pengetahuan, melainkan juga nilai-nilai (value).
Dalam pesantren, terjadi sebuah proses pembentukan tata nilai yang lengkap,
yang merupakan proses pemberian ilmu secara aplikatif.
Menurut
Muhammad Tolhah Hasan dalam bukunya Dinamika Tentang Pendidikan Islam,
disebutkan bahwa komponen-komponen yang ada dalam pesantren antara lain:
a. Kyai, sebagai figur sentral dan
dominan dalam pesantren, sebagai sumber ilmu pengetahuan sekaligus sumber tata
nilai.
b. Pengajian kitab-kitab agama (kitab
kuning), yang disampaikan oleh Kyai dan diikuti para santri.
c. Masjid, yang berfungsi sebagai
tempat kegiatan pengajian, disamping menjadi pusat peribadatan.
d. Santri, sebagai pencari ilmu
(agama) dan pendamba bimbingan Kyai.
e. Pondok, sebagai tempat tinggal
santri yang menampung santri selama mereka menuntut ilmu dari Kyai.
Sedangkan
dalam proses pembelajaran dan proses pendidikan, di pesantren menggunakan dua
sistem yang umum, yakni:
a. Sistem
“sorogan” yang sifatnya individual, yakni seorang santri mendatangi seorang
guru yang akan mengajarkan kitab tertentu, yang umumnya berbahasa Arab.
b. Sistem
“bandongan” yang sering disebut dengan sistem weton. Dalam sistem ini,
sekelompok santri mendengarkan dan menyimak seorang guru yang membacakan,
menerjemahkan dan mengulas kitab-kitab kuning. Setiap santri memperhatikan
kitab masing-masing dan membuat catatan yang dirasa perlu.
Kelompok
bandongan ini jika jumlahnya tidak terlalu banyak, maka disebut dengan halaqoh yang arti asalnya adalah lingkaran. Di
pesantren-pesantren besar, ada lagi sistem lain yang disebut musyawarah, yang diikuti
santri-santri senior yang telah mampu membaca kitab kuning dengan baik.
Hingga kini,
keberadaan pesantren telah mengalami berbagai dinamika, sejak dari pesantren
tradisional hingga pesantren modern.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar